Mahasiswa ideal bukan hanya dengan menjadi kutu buku dengan ciri  kacamata minus tebal, atau yang hanya rajin mengikuti kuliah demi  kuliah.
Mahasiswa ideal adalah yang juga berani bersentuhan dengan persoalan  masyarakat. Namun sentuhannya didasarkan pada cita-cita ideal keilmuan  yang bermakna, bukan lepas makna. Sehingga, ketika menjadi corong  masyarakat, itu karena memang suara di loudspeaker-nya dibutuhkan pada  ruang dan waktu yang tepat.
====
Banyak sorotan yang telah diarahkan pada perilaku mahasiswa saat ini.  Sorotan terutama pada aktivitas demonstrasi yang dilakukannya. Mahasiswa  bahkan sering diidentikkan dengan demonstrasi. Jalan raya di depan  sebuah perguruan tinggi telah diketahui sebagai tempat yang empuk bagi  aksi demonstrasi mereka.
Demonstrasi adalah ekspresi idealisme mahasiswa. Dengan demonstrasi,  mahasiswa menyalurkan pikiran, pandangan, dan kritiknya. Demonstrasi  selama ini sepertinya menjadi parlemen jalanan bagi mahasiswa.
Mengapa mahasiswa senang berdemonstrasi? Dengan mudah menjawabnya bahwa  untuk menunjukkan protes terhadap kebijakan atau perilaku luar yang  dianggapnya merugikan masyarakat, termasuk masyarakat kampus yang mereka  wakili.
Lalu mengapa mereka sering melakukan demonstrasi di jalan raya? Itu  adalah bagian dari upaya untuk mencari perhatian publik, dan hakikat  demonstrasi adalah aksi yang seharusnya diperlihatkan. Karena bila  dilakukan di dalam kampus,
ada kehawatiran bahwa suara mereka tidak langsung didengar oleh  masyarakat atau pejalan raya. Bahkan ada kekhawatiran tidak diliput oleh  media yang bisa diakses oleh masyarakat secara luas.
Persoalannya, mengapa mahasiswa sering terjebak pada aksi demonstrasi yang anarkis? Di sinilah masalahnya.
Kecenderungan pemahaman mahasiswa bahwa sebuah demonstrasi yang sukses  bila menimbulkan dampak karena dampak itulah yang nantinya bakal menjadi  pertimbangan pengambil kebijakan untuk menimbang ulang protes secara  terbuka yang dilakukan oleh mahasiswa.
Karena dampak itulah, mahasiswa berdemo di jalan raya ramai yang sering  menimbulkan masalah. Jalan raya bukanlah diperuntukkan untuk tempat  demo. Jalan raya adalah tempat umum yang dilalui oleh orang-orang yang  mempunyai hajatan, keperluan, atau urusan,
yang mungkin ada yang di antaranya yang sangat mendesak. Menghalangi  mereka karena jalanan terblok tentu menjadi masalah tersendiri.  Sementara urusan yang mereka jalankan bukan saja untuk kepentingan  mereka sendiri.
Ketika mereka sudah berada di jalan raya, mahasiswa sangat rentan  disusupi oleh pengaruh yang membuat mereka lepas kontrol karena  provokasi dari orang-orang tertentu untuk mengarahkan mahasiswa  bertindak anarkis, misalnya saat berhadapan dengan aparat keamanan.
Murni Idealisme?
Ironis memang selama ini, karena mahasiwa memperjuangkan nasib rakyat,  termasuk nasib mereka yang terhalangi saat mahasiswa berdemo di jalan  raya. Sebuah ironi karena yang diperjuangkan adalah sebuah cita-cita  ideal menurut persepsi mahasiswa,
tapi terkadang cara memperjuangkannya adalah kontraproduktif dengan  idealisme tersebut. Perjuangan dengan cara meresahkan pengguna jalan,  merusak jalan raya karena membakar ban, menyebar polusi karena emisi  dari ban yang terbakar, menyandera pengendara mobil tangki atau truk,  tentu semuanya cara yang cenderung bertolak belakang dengan pencapaian  idealisme itu.
Menjadi mahasiswa yang memiliki idealisme memang perlu. Mahasiswa selalu  dikaitkan dengan idealisme, bahkan menjadi mahasiswa selalu  diidentikkan dengan idealisme itu sendiri. Mahasiswa sering dilihat  seperti kelompok terpelajar yang belum memiliki kepentingan politik  praktis, sehingga gagasan dan pikiran mereka cenderung dianggap  objektif.
Mahasiswa sering ditempatkan sebagai mereka yang belum terkooptasi oleh  kepentingan materi karena hidup mereka belumlah dicekoki oleh peran  materi yang terkadang menyelewengkan niat tulus. Mahasiswa sering  dikaitkan dengan mereka yang apa adanya, tidak neko-neko, sehingga  gerakan, pikiran, kritik dan aksi sosialnya dianggap sebagai murni untuk  tujuan perubahan.
Namun, idealisme mahasiswa yang sering dilengketkan di atas belumlah  cukup untuk mengantar mereka menjadi mahasiswa ideal. Mahasiswa yang  melakukan demo secara anarkis adalah bisa saja mereka memiliki  idealisme. Mereka digerakkan oleh idealisme yang mampu menggetarkan otak  dan otot mereka untuk beraksi.
Mahasiswa ideal sejatinya dilihat dari sudut pandang aktivisme dan  pemikiran. Dua hal yang berpadu dalam tradisi kehidupan kampus yang  mereka lakoni. Dari segi aktivisme, gerakan mahasiswa telah menoreh  catatan penting terhadap sejarah pencarian identitas bangsa ini,
mulai dari sejak awal berdirinya sebagai negara bangsa sampai pada  kontribusinya yang menentukan pada lahirnya Orde Reformasi di negeri  ini. Di sisi lain, dari mahasiswa-lah yang diharapkan muncul bibit  pemikir pembangunan bangsa dengan pikiran-pikiran brilian yang mampu  menerobos sekat-sekat keilmuan dan melahirkan pencerahan pengetahuan  untuk kesejahteraan masyarakat.
Artinya, menempatkan mahasiswa dalam kerangka ideal memang perlu melihat  dari dua unsur tersebut. Mahasiswa ideal dalam perspektif penulis  adalah bukan karena semata yang mempunyai idealisme. Mahasiswa ideal  adalah yang mampu menampilkan idealismenya dengan cara yang elegan.
Mereka mampu melihat secara jelas cara yang terbaik mengekspresikan  idenya. Mereka melihat bahwa cara-cara yang banyak dilakukan selama ini  bukanlah sesuatu yang ideal. Mereka mampu melihat indikator tidak  idealnya cara tersebut.
Misalnya, banyaknya keluhan dari masyarakat umum apakah melalui  bincang-bincang di gardu, melalui sms dan surat pembaca di media dan  juga keprihatinan dari pemerintah sendiri atas ulah tersebut.
Singkatnya, menjadi mahasiswa ideal adalah mereka yang mampu membaca dan  mengalkulasi efek dari aksi-aksi mereka, termasuk efek berupa pandangan  masyarakat luas. Mahasiswa ideal adalah mereka yang turun ke jalan raya  bila memang masyarakat secara luas menghendakinya.
Mahasiswa ideal adalah mereka ingin memecahkan masalah masyarakat tanpa  menimbulkan masalah lebih besar seperti yang sering terjadi selama ini.
Mahasiswa ideal adalah mereka yang aksinya selalu mempertimbangkan  tanggung jawab pencitraan. Mereka mempertimbangkan citra yang harus  dipelihara di pundaknya, apakah sebagai harapan orang tua, pemuda  harapan umat, calon intelektual negeri, dan pelanjut generasi bangsa.
Mereka berbuat atas dasar pertimbangan pencitraan dan tanggung jawab  sosialnya tersebut. Bila aksinya mengancam beban pencitraan tersebut,  maka mereka tidak akan melakukannya.
Mahasiswa ideal adalah mereka yang berorientasi pada pemberdayaan  pemikiran, yaitu yang rajin melakukan pengasahan intelektual. Mereka  sadar bahwa mengasah intelektual tentunya tidak bisa dilakukan di jalan  raya atau di pintu gerbang kampus.
Mengasa intelektualitas sejatinya dilakukan di meja kelas, di  perpustakaan, di pusat-pusat kajian dan pengkaderan. Pengasahan  intelektualisme inilah yang merajut mahasiswa untuk memiliki ketajaman  berpikir.
Ketajaman berpikir inilah yang kelak diharapkannya sebagai modal penting  setelah meninggalkan kampus. Pikiran-pikiran mencerahkan adalah hal  yang sangat berguna untuk dibagi ke masyarakat. Singkatnya, mahasiswa  ideal adalah mereka yang tercerahkan.
Dalam kaitan dengan visi UIN Alauddin sebagai lembaga pendidikan Islam  tempat menggodok mahasiswa, mahasiswa ideal adalah mereka yang memiliki  "inner power" atau istilah Rektor UIN Alauddin adalah "inner capacity".
Inner capacity yang menjadi visi pengembangan UIN Alauddin pada masa  kepemimpinan Azhar Arsyad setidaknya memiliki empat aspek penting.  Pertama, pembelajaran mahasiswa untuk menjadikan mereka memiliki  perangkat akhlak mulia. Dengan orientasi pendidikan untuk pembenahan  akhlak mulia, perilaku mahasiswa diharapkan mampu menampilkan perilaku  yang menenangkan bukan meresahkan.
Aspek pertama ini tentunya mencegah demonstrasi yang anarkis dan tidak  produktif. Aspek berikutnya, mahasiswa yang terampil. Mahasiswa yang  terampil inilah yang mengarahkan pada kemampuannya untuk hidup secara  layak di masyarakat.
Aspek berikutnya adalah mahasiswa yang berpengetahuan luas. Mereka  memiliki wawasan yang diperlukan untuk berkontribusi pada kompleksitas  kehidupan, termasuk pengetahuan bahasa asing. Aspek yang terakhir adalah  kemampuan berpikir bebas.
Mahasiswa dengan aspek ini akan memiliki kreativitas dan kemampuan  berimajinasi serta improvisasi dalam penjelajahan ilmu. Karena memiliki  akhlak yang mulia, pemikiran bebas yang dimilikinya tidak dihawatirkan  untuk menimbulkan keresahan sosial.
Menjadi mahasiswa ideal tidak perlu menjadi spiderman, sebuah cerita  fiksi manusia laba-laba yang bisa terbang dan melengket di gedung-gedung  tinggi sebagai penyelamat setiap ada anggota masyarakat yang menghadapi  masalah,
karena memang itu hanya dalam cerita komik dan film Hollywood yang tidak  mungkin dilakukan bukan hanya oleh mahasiswa, tetapi manusia secara  umum. Untuk menjadi ideal, mahasiswa hanya perlu menyelamatkan dirinya  dari "korban" idealisme,
yaitu mereka yang hanya menjadikan demonstrasi sebagai kompensasi  kesemrawutan kuliahnya, dengan gagah-gagahan berteriak di jalan  dikelilingi gumpalan asap ban yang dibakarnya.

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar